pesan

Selasa, 16 April 2013

Dasar Proses Konseling


Dasar Proses Konseling

Konseling merupakan suatu hubungan bantuan yang  tidak bersifat “hanya sekali” atau “sekali jadi”., akan tetapi konseling merupakan suatu proses dimana hubungan ini berjalan atau  berkembang secara progresif, yaitu dari tahap awal hingga tahap akhir.  Banyaknya teori tentang tahapan tentang pelaksanaan proses konseling, secara umum konseling berjalan melalui tahapan-tahapan berikut. 1) pengembangan hubungan, 2) asesmen, 3) perumusan tujuan, 4) pemilihan dan implementasi teknik atau strategi intervensi, dan 5) evaluasi, terminasi dan tindak lanjut.
1.        Pengembangan hubungan  : merupakan tahap awal dari suatu proses konseling. Pengembangan hubungan dimulai sejak konselor menerima konseli pertama kali tanpa memperhatikan apakah konseli datang secara sukarela, berdasar undangan konselor, atau berdasar pada undangan pihak ketiga. Pengembangan hubungan biasanya disebut sebagai aliansi teraupetik atau pengembangan rapport. Rapport mengimplikasikan suatu  bentuk hubungan  yang kondusif atau fasilitatif bagi proses pemecahan masalah dalam konseling.  Kondisi ini ditandai dengan kesediaan konseli untuk membuka diri. Pada pengembangan hubungan ini konsistensi sikap dan perilaku konselor merupakan suatu kualitas yang penting, karena hal ini akan menjadi suatu penilaian terhadap sikap dan perilaku konselor.
2.        Asesmen : tahapan ini konselor mengumpulkan dan mengolah informasi dengan menggunakan berbagai prosedur dan alat sebagai dasar untuk memahami konseli. Kompetensi yang dibutuhkan oleh konselor dalam melakukan asesmen adalah teknik dan prosedur yang pengumpulan data tes dan non tes serta teknik analisis statistik dan kualitatif. Selain itu konselor juga perlu memiliki pengetahuan yang baik tentang berbagai perspektif teoritis tentang perilaku dan gangguan perilaku agar dapat mengembangkan hipotesis masalah konseli dengan tepat. Proses asesmen melibatkan beberapa ketrampilan khusus, termasuk didalamnya observasi, inkuiri, menghubungkan antara fakta-fakta, merekam informasi, dan mengembangkan hipotesis.
3.        Perumusan tujuan : tahapan ini merupakan tahap merepresentasikan apa yang diharapkan konseli dari proses konseling sekaligus arah proses konseling. Konselor diwajibkan memiliki tiga keterampilan dalam membantu konseli untuk dapat menentukan tujuan dari pelaksanaan konseling. Tiga keterampilan tersebut adalah sebagai  berikut a)keterampilan inferensial yaitu kemampuan untuk dapat menangkap dengan jelas pesan-pesan konseli dan kemudian memikirkan sikap dan perilaku alternatif, hal ini dapat dilakukan walaupun ketika konselor juga mendengarkan konseli mengutarakan permasalahannya, b) kemampuan untuk mendeferensiasikan, yaitu kemampuan untuk membedakan antara tujuan jangka panjang, menengah, dan pendek. Serta c) keterampilan yang ketiga adalah kemampuan untuk membantu konseli agar dapat berpikir secara realistik dalam menetapkan tujuan-tujuan. Realistik disini bermakna tujuan tersebut garus dapat dicapai konseli, dimana konseli dalam hal ini harus memiliki sumber internal dan eksternal yang memungkinkan dalam pencapaian tujuan. Pencapaian tujuan juga harus dinyatakan secara spesifik  dalam bentuk perilaku operasional.
4.        Pemilihan dan implementasi teknik atau strategi intervensi : Pada tahapan ini konselor  harus dapat berpikir secara obyektif guna menemukan strategi yang efektif dan tidak kaku, bahkan memaksakan dengan preferensi teoritiknya. Pemilihan strategi ini dilakukan berdasarkan karakteristik permasalahan konseli.
5.        Evaluasi, terminasi dan tindak lanjut : tahap terakhir adalah evaluasi yaitu melakukan asesmen terhadap keefektifan intervensi, baik dalam proses maupun hasil. Evaluasi ini akan sangat membantu dalam menentukan kapan konseling akan diakhiri dan direncanakan strategi baru bila strategi yang awal tidak efektif dalam membantu konseli untuk menyelesaikan masalahnya.
Proses konseling akan dapat berjalan dengan baik, maka konselor sebagai pelaksana  harus memiliki  keterampilan konseptual (penguasaan teori-teori), keterampilan interpersonal, dan keterampilan teknis.
            Karakteristik konselor sangat memberikan pengaruh pada keefektifan proses konseling. Eisenberg dan Delaney (1977) mengemukakan ciri-ciri konselor yang efektif sebagai berikut.
1.        Terampil mendapatkan keterbukaan.
2.        Dapat membangkitkan rasa percaya, kredibilitas, dan keyakinan dari konseli.
3.        Mampu menjangkau wawasan yang lebih luas.
4.        Berkomunikasi dengan hati dan menghargai orang yang dibantu (konseli)
5.        Memiliki penghargaan terhadap dirinya sendiri dan tidak menyalahgunakan konseli untuk memuaskan kebutuhan pribadinya.
6.        Mempunyai pengetahuan dalam bidang keahlian yang dimiliki oleh konseli.
7.        Senantiasa berusaha memahami tingkah laku konseli, bukan menghakimi.
8.        Memiliki penalaran dan pola pikir yang sistematis.
9.        Berpandangan mutakhir dan mempunyai wawasan tentang peristiwa kehidupan.
10.    Mampu mengidentifikasi pola tingkah laku yang merusak diri dan membantu konseli merubahnya menjadi pola tingkah laku yang memuaskan.
11.    Terampil membantu konseli agar dapat memahami diri.


Kondisi yang memfasilitasi  hubungan konseling agar dapat mengefektifkan proses konseling adalah
1.        Empati : kemampuan untuk memahami  individu dari kerangka acuan individu tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menunjukkan empati verbal yaitu:  menunjukkan keinginan untuk memahami, membicarakan apa yang penting bagi konseli, menggunakan respon verbal yang berkenaan dengan  perasaan konseli, serta menggunakan respon verbal untuk menyatakan pesan konseli secara implisit.
2.        Keaslian atau ketulusan (Genuinesses), keaslian disini dimaknai sebagai menjadi diri sendiri dan dilaksanakan dengan ketulusan. Ketulusan terdiri atas lima komponen yaitu perilaku non verbal (kontak mata, senyuman, dan posisi duduk antara konselor dan konseli), tindakan yang berkaitan dengan peran atau kedudukan, kongruensi (kekonsistenan antara kata-kata, tindakan, dan perasaan), spontanitas (kemampuan mengekspresikan diri secara natural tanpa perilaku yang dibuat-buat), keterbukaan (mampu membuka diri dan berbagi)
3.        Respek atau penghargaan positif (Positive Regard), kemampuan untuk menghargai konseli sebagai individu yang berharga dan bermartabat. Positif regard  ini dapat berbentuk  komitmen, pemahaman, sikap yang tidak menghakimi, dan kehangatan merupakan  suatu kedekatan psikologis antara konselor dan konseli yang ditandai adanya kontak mata, perasaan bersahabat, ramah, mudah tersenyum.














ATTENDING

Attending merupakan perhatian penuh konselor atau terapis  kepada konseli yang dihadapinya, ditandai oleh adanya keterlibatan kognitif dan emotif konselor dengan situasi konseling yang tampak berupa tingkah laku seperti menghadap dan melihat konseli atau mendekati konseli. (Andi Mappiare A. T, 2006)
Menurut Carkhuff, attending adalah melayani  secara pribadi yang menekankan  pentingnya konselor untuk menghadapi konseli secara penuh dengan menghadap secara tepat pada konseli, condong ke depan mengarah pada konseli, dan mengadakan kontak mata dengan konseli.
Perilaku  attending  disebut sebagai perilaku penampilan yang mencakup komponen kontak mata, bahasa badan, dan bahasa lisan (verbal dan non verbal). Perilaku attending atau penampilan yang baik merupakan kombinasi ketiga komponen tersebut akan memudahkan konselor untuk dapat membuat konseli terlibat pembicaraan dan terbuka. Penampilan yang baik dapat mendorong : meningkatkan harga diri konseli, menciptakan suasana yang aman, dan dapat mempermudah ekspresi perasaan konseli dengan bebas.
Perilaku attending yang baik dan dapat mengefektifkan proses konseling adalah sebagai berikut :
a.    Kepala : melakukan anggukan ketika setuju.
b.    Muka   : ekspresi wajah tenang, ceria, dan tersenyum
c.    Posisi tubuh : agak condong ke arah  konseli, jarak konselor dan konseli agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
d.   Tangan : Menggunakan gerakan tangan secara spontan dan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai variasi isyarat, menggunakan gerakan tangan untuk menekankan ucapan.
e.    Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan konseli hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), dan perhatian terarah pada lawan bicara.
Sedangkan penampilan perilaku attending yang tidak baik adalah :
a.    Kepala : kaku
b.    Muka : kaku, ekspresi wajah melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat konseli bicara, dan mata melotot.
c.    Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan konseli menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
d.   Mendengarkan : Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan konseli untuk berpikir dan berbicara.
e.    Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan dari luar.
Perilaku attending yang ditampilkan  konselor akan mempengaruhi kepribadian konseli, yaitu :
1.    Meningkatkan harga diri konseli.
2.    Perilaku attending dapat  menciptakan suasana aman bagi konseli.
3.    Memberikan keyakinan kepada konseli bahwa konselor adalah tempat dia mudah untuk mencurahkan segala isi hati dan perasaannya.



Tidak ada komentar: