pesan

Jumat, 19 April 2013

Filsafat




ETIKA ARISTOTELES
Etika adalah filsafat moral yang membicarakan sikap dan perbuatan yang baik. Etika berasa dari kata Yunani “ethos” yang berarti adat, kebiasaan atau cara bertindak. Adat kebiasaan sangatlah banyak jumlahnya, sebanyak suku bangsa dan umumnya diterima begitu saja oleh para penganutnya terutama dikalangan para tradisionalis. Banyak pengamat sosial melihat adat sebagai perekat yang mengikat diantara sesama anggaota masyarakat. Ini dapat terjadi karena di dalam adat terdapat norma-norma dan nilai-nilai yang dianggap baik atau sakral. Adat menjadi dihormati dan diikuti tanpa banyak bertanya. Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Menurut umat Islam dasar itu terletak dalam keimanan Tauhid yang mengEsakan Tuhan dan kepatuhan kepadaNya seperti yang terkandung dalam pelaksanaan syariat Islam. Setiap muslim menghormati sikap dan perbuatan takwa. Akan tetapi ada orang lain yang menemukan dasar moralitas dalam sesuatu yang lain. Ada yang menemukan dasar moralitas dalam prinsip cinta kepada Tuhan dan sesama atau dalam prinsip harmoni dengan kosmos. Etika yang bersifat deskriptif memberikan gambaran mengenai norma dan konsep baik-buruk perbuatan, maupun asal-usul dan relevansinya bagi kehidupan manusia. Sebagai filsafat moral, etika juga menarik perhatian banyak filosof, semenjak jaman Yunani kuno sampai sekarang. Mereka melihat pentingnya etika bagi kelangsungan kehidupan umat manusia melalui manfaatnya bagi pengembangan kepribadian dan potensi seseorang individu maupun keadilan didalam hubungan diantara sesama manusia. Tulisan dari filosof Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles memperlihatkan kepada kita bahwa etika bukanlah semata-mata aturan hidup secara praktis, bukan pula yang didasarkan kepada adat kebiasaan. Menurut mereka etika adalah perilaku jiwa yang baik yang menuntun kepada kebahagiaan dan kebenaran. Keterbatasan pengetahuan mereka mengenai jiwa manusia itu sendiri tidak menghalangi mereka untuk menjelaskan konsepnya mengenai etika. Bagi filosof Yunani Kuno semacam Aristoteles, jiwa dilihat sebagai suatu fakta yang menginginkan kebahagiaan, tidak sekedar kesenangan indrawi belaka, jadi ada yang bernama kebajikan moral dan intelektual yang menuntun jiwa kepada kebahagiaan. Seperti akan kita lihat etika Aristoteles yang berdasarkan psikologi ini berbeda ruang lingkupnya dengan etika Plato. Dalam etika Plato, eksistensi Ada yang berdiri sendiri (Tuhan ) adalah nyata sebagaimana terwujudnya ide-ide yang baik dalam diri manusia serta tatanan alam yang mengikuti ide-ide tadi. Bagi Plato Tuhan adalah puncak dari segala ide yang hidup dan sekaligus menghidupi. Jiwa rasional dengan keberanian moral yang berusaha mencapai dunia ide-ide bersaing dengan keinginan atau nafsu yang membelenggunya di kehidupan duniawi. Keutamaan keadilan bagi Plato adalah untuk menjamin keseimbangan antara kebijaksanaan, keteguhan hati dan sikap ugahari. Dengan demikian etika yang bersifat vertikal (yaitu menyertakan hubungan manusia dengan Tuhan) dari Plato ini menambahkan suatu dimensi lagi kepada konsep etika Aristoteles. Pertanyaan: Apa yang baik?, telah menjadi pertanyaan yang menghantui banyak filosof dunia. Jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw, yaitu pada jaman Yunani Kuno, filosof Aristoteles (lahir 384 SM) menemukan dasar moralitas dalam kepentingan jiwa manusia sebagai mahluk termulia di muka bumi. Bagi Aristoteles pertanyaannya menjadi: Apa yang baik bagi manusia, sebagai mahluk rasional? Aristoteles melihat sasaran-sasaran kehidupan manusia . Dia menyatakan bahwa sasaran yang paling akhirlah yang harus merupakan kebaikan bagi manusia,yaitu kebahagiaan. Karena memang tidak ada yang dicari lagi setelah kebahagiaan. Menurutnya manusia memilih kebahagiaan berdasarkan kebahagiaan itu sendiri, bukan memilih kebahagian untuk alasan lain. Memang banyak sasaran dalam hidup ini seperti kehormatan,kekayaan, kepandaian, kesehatan dan lain sebagainya, tetapi kita memilih mereka sebagian karena esensinya (kita merasa cocok), dengan berbagai akibatnya, dan sebagian lain karena mereka dapat membahagiakan. Mereka dianggap membahagiakan berhubung dapat menjadi alat untuk mencapai kebahagiaan. Tetapi apakah kebahagiaan itu? Para filosof tidak berhenti bertanya, mereka tidak akan puas dengan jawaban bahwa kebahagiaan itu berjuta rasanya atau tidak terlukiskan seperti dalam kasus seseorang mendapatkan cinta. Aristoteles sejak semula mengatakan bahwa ini adalah sasaran akhir dari kegiatan rasional manusia. Kebahagiaan terkait dengan kegiatan manusia. Tetapi tidak setiap kegiatan manusia dapat memberikan kebahagiaan, kegiatan manusia sebagai binatang umumnya,seperti memamah biak, tidak memberikan kebahagiaan. Menurut Aristoteles apa yang baik atau kebahagiaan adalah kegiatan jiwa manusia sesuai nilai kebaikan. Apabila terdapat banyak nilai ,tidak hanya satu, maka kebahagiaan adalah kegiatan jiwa sesuai nilai kebaikan yang paling sempurna. Kebahagiaan yang dihasilkan dari kegiatan jiwa ini berbeda dengan kesenangan atau kenikmatan yang timbul dari proses menikmati objek-objek luar. Kebahagiaan seorang joki memenangi perlombaan balap kuda tidaklah sama dengan kesenangannya memiliki seekor kuda. Kegiatan yang baik tidaklah semata mata menyenangkan kepada orang orang tertentu tetapi juga menyenangkan di dalam dirinya sendiri. Kegiatan ini tidak memerlukan kesenangan yang ditempelkan kepadanya sebagai aksesori tetapi memiliki kesenangan sendiri di dalam dirinya. Seseorang yang tidak merasa senang dengan perbuatan baik bukanlah orang yang baik, karena memang tidak ada yang mengatakan seseorang baik kecuali orang ini merasa senang berbuat baik. ? Jika kegiatan yang baik haruslah menyenangkan, maka kebahagiaan adalah puncak dari kebaikan dan kesenangan. Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan ini memerlukan apa yang dinamakan kebaikan luar karena memang hampir tidak mungkin untuk berbuat baik tanpa adanya sumber daya. Beberapa kegiatan hanya dapat dilakukan dengan pertolongan luar seperti, kekayaan, teman ataupun kekuatan politik. Lagipula ada kegiatan yang dilakukan dengan beberapa keberuntungan seperti rupa yang baik, keturunan yang baik dan lain sebagainya. Dengan demikian kebahagiaan nampaknya memerlukan sumber sumber daya seperti ini, yang dikatakan oleh sebagian orang sebagai hasil dari nasib baik, meskipun juga dikatakan sebagai kebaikan oleh sebagian lainnya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kebahagiaan dapat dicapai? Apakah kebahagian sesuatu yang dipelajari, dicapai dengan kebiasaan ataukah dengan cara lain? Apakah kebahagian dicapai melalui dispensasi ilahiah ataukah melalui untung-untungan? Aristoteles tidak membahas etika dari segi filosofi pertama yaitu kombinasi dari teologi dan metafisika, tetapi dia percaya kebahagiaan adalah sesuatu yang dimiliki banyak orang, berhubung kebahagiaan ini dapat dimiliki oleh setiap orang yang tidak dihalangi oleh ketidakmampuan untuk menjadi bahagia. Dan menganggap bahwa lebih baik untuk mendapatkan kebahagiaan dengan usaha daripada sekedar menunggu nasib adalah anggapan yang dapat dibenarkan oleh kenyataan kemerdekaan berusaha yang dimiliki manusia. Bukankah kita dapat melaksanakan kemungkinan tindakan yang
terbaik? Sesuatu yang terbaik yang dapat tercapai tidak semestinya diserahkan kepada nasib baik. Ketidak inginannya membahas masalah baik- buruk berdasarkan teologi dan metafisika telah membawa Aristoteles kepada sumber pembahasan lain yaitu psikologi atau ilmu mengenai karakter jiwa manusia. Menurutnya kita harus memanfaatkan hasil dari ilmu psikologi yang menyatakan bahwa jiwa manusia terdiri dari dua bagian yaitu bagian rasional dan bagian irasional. Bagian rasional adalah bagian yang berfungsi intelektual seperti merenung , berfikir, menganalisa dan lain sebagainya. Bagian lainnya yaitu bagian irasional dikatakannya terdiri dari sub-bagian yang berfungsi seperti tanaman yaitu makan dan sub-bagian yang semi rasional. Sub-bagian semi-irasional ini adalah jiwa yang memerlukan bujukan, peringatan, pembuktian untuk dapat berpartisipasi dalam rasio. Sub-bagian ini nampaknya merupakan bagian yang kadang-kadang membangkang atau menurut pada pertimbangan rasio. Kebajikan atau perbuatan baik juga dibagi sesuai dengan struktur jiwa. Beberapa kebajikan bersifat intelektual dan lainnya bersifat moral. Kebijaksanaan, pengertian dan ketelitian serta ketepatan bersifat intelektual, sedangkan keberanian, keramahan dan kesabaran bersifat moral. Jika kebajikan intelek dapat berkembang dengan instruksi maka kebaikan moral dapat berkembang melalui kebiasaan. Instruksi dan ilmu yang buruk akan membawa kepada kejahatan intelek dan kebiasaan yang jelek juga akan membawa kepada kejahatan moral. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak ada kebajikan moral dalam diri kita dikembangkan oleh alam, karena tidak ada apa yang dibuat oleh alam (bersifat alamiah) berkelakuan beda dengan yang melalui kebiasaan. Kebajikan moral menjadi kuat dalam diri kita tidak oleh alam dan tidak pula bertentangan dengan alam. Kita dibentuk oleh alam untuk menerima kebajikan itu, tetapi pengembangan penuh kebajikan itu adalah akibat kebiasaan kita. Menurut Aristoteles kebajikan bukanlah termasuk dalam kepemilikan rasa umumnya. Seseorang tidak akan dipuji karena semata-mata memilik perasaan senang tetapi dia dipuji karena merasa senang sewaktu menolong orang lain. Jadi kebaikan termasuk kedalam golongan disposisi. Kesempurnaan manusia adalah suatu disposisi yang membuat seseorang menjadi manusia yang baik dan menyebabkan seseorang tadi mampu melaksanakan fungsinya dengan baik. Tetapi apakah ukuran kebajikan itu? Aristoteles memberikan analogi sebagai berikut. Dia menyatakan bahwa seseorang haruslah mendapatkan hadiah sesuai kepantasannya, dan kepantasan itu ditentukan berdasarkan prinsip pertengahan. Bagi seorang Milo, yaitu pegulat terkenal dari Croton Italia, dua pounds gajih mungkin terlalu kecil , tetapi bagi seorang pegulat biasa ini mungkin sudah cukup. Disini kita menghindari pemberian yang kurang atau pemberian yang lebih relatif terhadap seseorang yang akan diberi. Kesimpulannya kita mencari titik tengah dan kemudian memilihnya sebagai yang baik. Demikian pula dalam kebajikan moral. Adalah mungkin kita merasakan takut, yakin, marah, senang, susah terlalu banyak atau terlalu sedikit. Sikap ini adalah salah. Kita harus memiliki titik tengah dari rasa rasa ini relatif terhadap kita sendiri. Dalam perbuatan menyangkut orang lain, kita perlu memiliki keadilan. Kita berlaku baik jika memiliki rasa-rasa tadi pada titik tengah pada saat yang tepat dengan alasan yang tepat dan kepada orang yang tepat. Itulah sikap yang terbaik dan menunjukkan kebajikan moral. Pandangan dan analisa Aristoteles mengenai jiwa berdasarkan psikologi dan prinsip tengah tadi menggambarkan kebaikan manusia umumnya. Dengan membagi jiwa kedalam jiwa intelektual, jiwa nutritif dan jiwa semi rasional, sebetulnya ;
Aristoteles membaginya berdasarkan modus interaksinya. Manusia dilihat sebagai mahluk yang berinteraksi dengan sesama manusia di lingkungannya, memiliki jasmani dan juga berinteraksi dengan lingkungan lainnya yaitu alam intelek. (Bagi yang beragama alam intelek ini termasuk kedalam alam gaib atau alam keTuhanan). Sudah tentu kita memandang tepat apa yang disimpulkannya mengenai kebajikan moral terhadap tubuh. Makanan yang masuk kedalam tubuh memang harus dalam kadar pertengahan, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, yang kedua-duanya bisa mengakibatkan penurunan kesehatan. Kondisi jasmani seseorang juga dapat dipelajari dan diketahui oleh pemiliknya, sehingga dia bisa mengetahui bagian mana yang tidak beres dan melakukan tindak kebaikan. Tetapi bagaimana denga jiwa semi rasional? Apakah jiwa rasional ini adalah jiwa manusia umumnya ? Bagaimana kita mengembangkannya yaitu meminimalisir yang memang jahat dan bukan sekedar terpaku dengan titik tengah? Bagaimana kita menjadi jiwa yang tenang? Konsep etika Aristoteles tidak menyinggung sejauh itu. Seperti akan kita lihat di bawah Aristoteles berpendapat untuk menjadi baik yang sejati seseorang yang memiliki kebajikan moral haruslah juga melaksanakan phronesis ( prudensi dalam bahasa Inggris), yaitu semacam kebijaksanaan praktis atau amal sholeh. Mengenai jiwa semi rasional, Aristoteles lebih jauh berpendapat bahwa diantara kebajikan manusia ada yang bernama kebebasan, kesabaran, kesederhanaan dan kejujuran. Keempatnya masing-masing merupakan disposisi jiwa dalam hal transaksi usaha, amarah, aktifitas diri dan ekspresi diri. Baginya kebebasan adalah titik tengah dari keborosan dan kemalasan. Kesabaran adalah titik tengah dari kebuasan dan kekurangan semangat. Kesederhanaan adalah titik tengah dari rasa tidak punya malu dan malu-malu dan berlaku hanya bagi anak muda yang belum stabil jiwanya. Bagi Aristoteles kejujuran diri adalah titik tengah antara omong besar dan rendah diri, bukan keberanian berbicara benar. Mengapa kesederhanaan hanya berlaku bagi anak muda dan tidak berlaku bagi orang dewasa? Aristoteles menjelaskan bahwa kesederhanaan cocok untuk meredam gejolak di dalam diri anak muda yang dapat menimbulkan perbuatan yang tidak terpuji. Bagi orang dewasa ini termasuk kedalam perasaan semata. Tetapi mengapa kesederhanaan ini dipandang seperti itu? Mengapa kejujuran diri bukan berarti kemampuan bicara benar?. Bukankah kesederhanaan dan kejujuran manusia disertai ilmu yang benar juga diperlukan supaya dapat menjadi manusia yang adil? Ini adalah pertanyaan yang masih disisakan oleh Aristoteles. Berbeda dengan gurunya yaitu Plato ( 427-347 SM) yang mempercayai eksistensi alam gaib serta hubungannya dengan alam nyata, Aristoteles adalah filosof yang lebih suka melihat kenyataan berdasarkan pengalaman praktis manusia. Disatu fihak tendensi ini menghasilkan sesuatu pengetahuan yang bersifat praktis tetapi dilain fihak menyisakan teka- teki mengenai siapa sebenarnya mahluk yang bernama manusia itu. Kalau memang ada, seperti apa manusia sempurna yang dapat berlaku adil ? Bagi Aristoteles ada kebajikan intelek selain kebajikan karakter. Kebajikan intelek ini bersifat rasional dan dapat dibagi dua yaitu intelek kontemplatif dan intelek kalkulatif. Dengan intelek kontemplasi seseorang dapat merenungi sesuatu yang memiliki prinsip-prinsip pertama yang tidak variabel ( alam metafisik). Intelek kalkulatif digunakan untuk merenungi sesuatu yang variabel (alam nyata). Pencarian dan penghindaran pada jiwa semi rasional yang bersifat apetitif ( atau jiwa yang tanggap terhadap petuah, himbauan, dan lain yang serupa) berhubungan dengan penegasan (pembenaran) dan penolakan (menyalahkan) pada jiwa rasional. Tetapi kebajikan 

Tidak ada komentar: