HUBUNGAN FILSAFAT DAN DUNIA ISLAM
A. PENDAHULUAN
Masuknya dunia filsafat dalam dunia
islam sebenarnya telah ada pada abad pertengahan hijriah, yaitu melalui dua
madzhab, Neo Platonisme yang masuk kepada dunia tasawuf, dan madzhab
Paripatetik yang kelihatan lebih banyak masuk kedalam bentuk skalastisisme
ortodoks (kalam).[1]Akan tetapi yang lebih ditekankan adalah masuknya
filsafat melalui jalur Ilmu Kalam. Yaitu ketika Ilmu Kalam menjadi persoalan
yang sangat pelik antara beberapa kelompok, seperti Mu’tazilah ataupuan Ibnu
Hambal dan Asy;aryiah. Kendatipun demikian Ilmu Kalam tetap menjadi nash-nash
agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam penggunaanya dalil-dalil akal melebihi penggunaan dalil naqli yang nampak pada perbincangan
Mutakallimin. Atas dasar itulah para pakar memasukan Ilmu Kalam dalam lingkup
Filsafat.[2]
Walaupun obyek dan metode kedua ilmu tersebut
(Fisafat dan Ilmu Kalam) berbeda, tapi keduanya saling melengkapi dalam
memahami islam dan pembentukan aqidah muslim. Filsafat mengawali pembuktiannya
dengan argumen akal, kemudian pembenarannya melalui wahyu, sedangkan Ilmu Klam
mengawali pembicaraan dengan wahyu, barulah kemudian didukung oleh
argumen akal.[3]
Adapun pada perkembangannya, perhatian terhadap
filsafat sudah dimulai dengan penterjamahan buku-buku kedalam bahasa Arab pada
masa permulaan Daulah Umayah, yang kemudian jaman keemasannya terjadi pada masa
Daulah Abbasiyah yan berpusat di Baghdad, terutama pada masa Al-ma’mun (813-833
M), putra Harun al-Rasyid, yang dikenal dengan jaman penterjemahan.[4]
Walau sebenarnya, pada masa Abbasiyah kegiatan
penterjemahan dimulai oleh Khalifah Al-Mansur, akan tetapi kemajuan yang lebih
nyata dapat dicapai pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Ia termasuk seorang
intelektual yang gandrung kepada ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia mendirikan
Bait al-Hikmah, yaitu sebuah akademi yang tidak hanya berfungsi sebagi wadah
penterjemahan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan filsafat dan sains. Yang
dipimpin oleh seorang nasrani yang ahli bahasa Yunani, Hurain ibnu Ishak
(809-873 M.). Selain itu khalifah Al-Ma’mun juga mengirimkan utusan ke seluruh
kerajaan Byzantium untuk mencari buku-buku Yunani tentang berbagai sobyek. Dan
membayar setiap buku yang diterjemahkan dari bahasa asing ke bahasa Arab dengan
emas seberat buku yang diterjemahkan, diantara buku-buku itu adalah Thaetitus,
Cratylus, Parmenides, dan lain-lain sebagainya. [5]
Di samping kota Baghdad, juga ada kota-kota lain
yang dijadikan sebagai pusat pengembangan Sains dan Filsafat yaitu kota Marwa
(Persia tengah), Jundishyapur dan Harran. Dengan adanya penterjemahan itu, umat
Islam secara singkat dapat menguasai keintelektualan dari ketiga kebudayaan
yang sangat maju pada waktu itu yaitu Yunani, Persia, India. Yang kemudian
dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam menjadi kebudayaan yang lebih maju yang
tergambarkan dalam berbagai bidang ilmu dan mazhab filsafat yang bermacam-macam.
Namun sayangnya, kejayaan filsafat dan ilmu tersebut hanya dapat berlangsung
sampai abad XIII M. Kemudian orang-orang Barat memindahkan pusat ilmu
pengetahuan tersebut ke negaranya[6]
B. PERMASALAHAN
Hubungan
filsafat dan dunia Islam sesungguhnya
terjadi permasalahan-permasalahan dengan tanggapan yang berbeda pula, karena
pertanyaan yang timbul adalah ’’bagaimana agama sebagai wahyu Tuhan, sumber
perintah-perintah dan larangan-larangan dapat bertemu dengan filsafat yang
hanya didasarkan atas alasan-alasan pikiran?’’
Dengan adanya pertanyaan tersebut, akhirnya ada
tiga pengelompokan yang memberi tanggapan akan hal tersebut. Pertama, kelompok yang memegang teguh agama dan menolak filsafat secara
ekstrem (Fuqaha). kedua, kelompok
yang menerima filsafat secara moderat (para tokoh Teologi atau Kalam). Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan
antara filsafat dan agama menurut cara tertentu dan cara inilah yang ditempuh
oleh para filosof yang mukmin dan memegang teguh akidah-akidah agama.[7]
Akhirnya dengan adanya filsafat dalam dunia Islam
atau yang lebih dikenal dengan filsafat Islam bisa memadukan antara wahyu dan akal, antara akidah dan hikmah, antara agama dan filsafat, dan
berupaya menjelaskan bahwa:
Ø Wahyu tidak bertentangan dengan akal
Ø Akidah dengan diterangi dengan sinar
filsafat akan menetap di dalam jiwa dan kokoh di hadapan lawan.
Ø Agama jika bersaudara dengan filsafat akan
menjadi filosofis sebagaimana filsafat menjadi religius.[8]
Untuk lebih mensistematiskan dalam pembahasan ini,
maka tema hubungan filsafat dan dunia Islam lebih menekankan pada perpaduan
antara filsafat dan agama Islam. Yaitu persamaan antara filsafat dan dunia
Islam (Agama Islam), apa saja konstribusi filsafat terhadap dunia Islam? Serta
bagaimana tanggapan sebagian filosof yang mengambil jalan tengah untuk
memadukan antara filsafat dan agama Islam?, dan apa faktor-faktor yang
mendorong ke arah pemaduan filsafat dan agama?
C. PEMBAHASAN
1.
Persamaan Antara Filsafat Dan Dunia Islam
(Agama Islam)
pada
hakikatnya terdapat persamaan antara tujujan filsafat dan agama, sebagaimana
para filosof Islam berpendirian bahwa keduanya bertujuan untuk mewujudkan
kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan-perbuatan yang baik. Adapun menurut mereka pembahasan
agama dan filsafat adalah satu juga, karena keduanya membicarakan
prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini. Hal ini seperti dalam
pengertian filsafat yaitu ilmu tentang wujud-wujud melalui sebab-sebabnya yang
jauh, yakni pengetahuan yang yakin dan sampai pada sebab-sebabnya sesuatu.[9]
Diantara para filosof diatas, Al-Farabi yang dikenal dengan tokoh
besar Islam, juga mengungkapkan bahwa tujuan filsafat dan agama ialah sama,
yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat-filsafat memakai dalil-dalil
yang diyakini dan ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama memakai cara
Iqna’i (pemuasan perasaan) yang kiasan-kiasan serta gambaran, dan ditujukan
kepada semua orang, bangsa dan negara.[10]
Selain itu menurut beliau, bahwa tujuan terpenting
dalam mempelajari filsafat adalah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak
bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang
mengatur alam ini dengan kemurahan,
kebijaksanaan dan keadilan.[11]
2.
Konstribusi Filsafat Terhadap Dunia Islam
Walau filsafat diperselisihkan dalam dunia Islam,
akan tetapi filsafat memberikan sumbangan yang tidak bisa diremehkan dalam
kerja pikiran kemanusiaan dan mempunyai tempat sendiri dalam dunia Islam.
Sebagai mana arti dalam filsafat adalah hasil
kerja berpikir dalam mencari hakekat segala sesuatu secara sistematis, radikal
dan universalitas. Dan untuk merasionalkan wahyu yang membicarakan keberadaan
Tuhan, maka filsafat sangat dibutuhkan dalam dunia Islam karena kebanyakan filsafat menggunakan argumentasi
akal yang tentunya bisa diterima oleh banyak kalangan. Hal ini sebagaimana yang
dikemukakan oleh filosof bahwa untuk memadukan agama dan filsafat dapat
dikerjakan dengan dua cara: Pertama,
dengan menjelaskan ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-pikiran filsafat
yang telah terurai. Contohnya dapat didapati
dalam buku Fushus-Ul-hikam
(permata filsafat) oleh Al-Farabi dan lain-lain. Kedua, dengan menakwilkan kebenaran-kebenaran (ketentuan-ketentuan
agama) dengan takwilan yang sesuai dengan pikiran-pikiran filsafat, atau dengan
perkataan lain penundukan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat.[12]
` Karena filsafat ini adalah ilmu yang lahir di
dunia Islam tanpa membedakan etnis dan bahasa, apalagi ajaran Islam sendiri
telah memberikan motivasi yang kuat terhadap perkembangan filsafat. Maka ilmu
disini disebut sebagai filsafat Islam. Selain dapat melahirkan filsafat Islam
di kalangan muslimin, dengan adanya filsafat juga melahirkan
filosof-filosof besar Islam, seperti
Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi yang dapat mengembangkan keintelektualan di
Dunia Islam.
Akan tetapi, walau konstribudi filsafat
terhadap Dunia Islam tidak bisa diremehkan. Agama yang akhirnya menjadi
barometer terhadap pemikiran filsafat yang melenceng dari kebenaran.
3.
Pendapat
Sebagian Filosof Yang Menyetujuai Pemaduan Agama Dan Filsafat
Semangat pemaduan sebagai jalan tengah yang
dilakukan oleh filosof-filosof Islam
dalam mempertemukan antara agama yang
dipercayai kebenarannya, dengan filsafat yang didasarkan atas ketentuan dan
dalil-dalil pikiran semata. Hal seperti ini dapat diwakili oleh pandangan
Al-Kindi dan Ibnu Rusyd sebagaimana berikut.
- Al-Kindi
Al-kindi mempertemukan agama dan filsafat atas
dasar pertimbangan bahwa filsafat ialah ilmu tentang kebenaran dan agama juga
adalah ilmu tentang kebenaran pula, oleh kerana itu maka tidak ada perbedaan
antara keduanya.
Menurutnya, kita tidak boleh malu mengakui
kebenaran dan mengambilnya dari manapun datangnya, meskipun datang dari bangsa
lain. Karena tidak ada yang lebih utama bagi orang yang mencari kebenaran dari
pada kebenaran itu sendiri. Memang kadang-kadang terdapat perlawanan dalam
lahirnya, antara hasil-hasil pemikiran filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur’an,
yang menyebabkan filsafat ditentang. Pemecahan Al-Kindi dalam soal ini adalah
bahwa kata-kata dalam bahasa Arab bisa mempunyai arti yang sebenarnya (hakiki)
dan arti mazasi (kiasan) yang dilakukan dengan jalan takwil (penafsiran) dengan
syarat dilakukan oleh ahli agama dan ahli pikir.
Sesuai dengan pendiriannya bahwa filsafat harus
dimiliki, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya
dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan menguraikan dengan
sebaik-baiknya.[13]
- Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd mengadakan pemaduan antara agama dan
filsafat, karena sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi Aristoteles, ia
harus membalas serangan yang dilakukan oleh Al-Ghozali dalam bukunya Tahafuth Al-Falasifah. Yang berisi
serangan pedas terhadap para filsafat dan filosof sebelumnya.
Dalam menguraikan perlunya pemaduan tersebut, ia
menguraikan empat persoalan. Pertama,
keharusan berfilsafat menurut syara’. Kedua,
pengertian lahir dan pengerian bathin, serta keharusan takwil. Ketiga, aturan-aturan takwil. Keempat, pertalian akal dan wahyu.
Ø Pertama, Keharusan Berfilsafat Menurut Syara’
Menurut Ibnu Rusyd, fungsi filsafat tidak lebih
daripada mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai
jalan untuk menemukan zat yang membuatnya. Al-Qur’an berkali-kali memerintahkan
demikian, antara lain dalam surah Al-A’raf, ayat 185: ”Apakah mereka tidak memikirkan tentang
(Yandhuru Fi) alam langit dan bumi dan segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan?”. Juga dalam surah Al-Hasjr ayat
2, disebutkan sebagai berikut: ”Hendaknya
kamu mengambil ibarat (I’tibar, mengadakan qias = sillogisme), wahai
orang-orang yang mempunyai pandangan.”
Ayat terakhir ini dengan jelas mengharuskan kita
untuk mengambil qias-aqli (silogisme) yaitu pengambilan suatu hukum yang belum
diketahui dari sesuatu hukum yang sudah diketahui (maklum) yang intinya harus
mengarahkan pandangan pada alam wujud ini dengan qias-aqli. Karena itu
penyelidikan yang bersifat filosofis menjadi suatu kewajiban.
Ø Kedua, Keharusan Takwil
Filosof-filosof Islam sepakat bahwa akal dan wahyu
kedua-duanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk mencapai kebenaran. Akan
tetapi dalam Qur’an maupun Hadits banyak nash-nash yang menurut lahirnya
berlawanan dengan filsafat. Bagi Ibnu Rusyd, nash-nash itu bisa ditakwilkan
sepanjang aturan-aturan takwil dalam bahasa Arab, seperti halnya kata-kata dari
syara’ bisa ditakwilkan pula dari segi aturan fiqih. Penafsiran (penakwilan)
semacam ini dipakai juga oleh ulama-ulama fiqih dan ulama-ulama filsafat.
Ø Ketiga, Aturan-aturan Takwil.
Setelah menjelaskan tentang keharusan takwil di
atas Ibnu Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai pegangan dalam melakukan
takwil, yaitu: pertama, setiap orang
harus menerima dasar-dasar (prinsip-prinsip) syara’ dan mengikutinya. Kedua, yang berhak melakukan takwil hanya
golongan filosof semata, bahkan filosof-filosof tertentu saja yaitu mereka yang
mendalam ilmunya. Ketiga, hasil
penakwilan hanya bisa dikemukakan pada golongan pemakai qias Burhani, jelasnya
filosof-filosof, bukan kepada orang awam, karena orang awam tidak memahami
penakwilan tersebut. Keempat,
diperbolehkannya Menjelaskan hasil penakwilan kepada orang-orang awam, karena
adanya keadaan yang memaksa yaitu dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan pada
penyebaran hasil-hasil penakwilan sebelumnya.
Kelima, kedudukan wahyu dan pertalian dengan
akal
Ibnu Rusyd menganggap bahwa wahyu sebagai suatu
keharusan untuk semua orang dan kekuatan akal dalam mencari kebenaran yang
berada di bawah kekuatan wahyu.[14]
4.
Faktor-Faktor Pendorong Pemaduan Filsafat
Dan Dunia Islam
Selain tanggapan yang diberikan oleh Al-Kindi dan
Ibnu Rusyd dalam masalah pemaduan filsafat dan dunia Islam, ada beberapa faktor
yang mendorong filosof Islam untuk memadukan keduanya yaitu:
- adanya
jurang pemisah antara Islam dengan Filsafat Aristoteles dalam berbagai
persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri khasnya,tentang persoalan
baru atau khodimnya alam, hubungan alam dan Tuhan dan lain-lain.
- Banyaknya
serangan yang dilakukan oleh tokoh agama terhadap pikiran-pikiran
filsafat, yang kadangkala menimbulkan tekanan-tekanan oleh rakyat dan
penguasa pada ahli-ahli pikir, yang sebenarnya tidak membawa hasil yang
sesuai dengan akidah agama.
- Adanya
hasrat para filosof untuk menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan itu agar
bisa hidup tenang dan tidak terlalu nampak perlawanannya kepada agama.[15]
D. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapatlah diambil kesimpulan,
bahwasanya filsafat dan dunia Islam mempunyai persamaan tujuan yaitu mencari
kebenaran, dan keduanya merupakan ilmu yang membicarakan prinsip-prinsip yang
paling jauh bagi semua wujud.
Selain itu disadari atau tidak, filsafat
memberikan konstribusi yang sangat besar terhadap perkembangan keintelektualan
dalam dunia Islam, karena pada dasarnya filsafat memberikan argumen akal
terhadap wahyu yang datang agar bisa disosialisasikan kepada masyarakat luas.
[1] Rasihan
Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia,
2000),36.
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),5
[3] Ibid,6
[4] Ibid,11-12
[5] Ibid, 11-13
[6] Ibid. 13
[7] Ahmad Hanafi, pengantar filsafat
Islam, (Yogyakarta:Bulan Bintang, 1982) 87
8 Ibrahim
Madkaour, filsafat islam metode dan penerapan, (jakarta:Rajawali Pers, 1987), 8
[9]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 11-16
[10] Ibid, 17
[11] Ibid, 18
[12] Ibid, 82-85
[13] Ibid, 89-90
[14] Ibid,
90-100
[15] Ibid, 88-89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar