ETIKA ARISTOTELES
Etika adalah filsafat moral yang membicarakan
sikap dan perbuatan yang baik. Etika berasa dari kata Yunani “ethos” yang
berarti adat, kebiasaan atau cara bertindak. Adat kebiasaan sangatlah banyak
jumlahnya, sebanyak suku bangsa dan umumnya diterima begitu saja oleh para
penganutnya terutama dikalangan para tradisionalis. Banyak pengamat sosial
melihat adat sebagai perekat yang mengikat diantara sesama anggaota masyarakat.
Ini dapat
terjadi karena di dalam adat terdapat norma-norma dan nilai-nilai yang dianggap
baik atau sakral. Adat menjadi dihormati dan diikuti tanpa banyak bertanya.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Menurut umat Islam dasar itu
terletak dalam keimanan Tauhid yang mengEsakan Tuhan dan kepatuhan kepadaNya
seperti yang terkandung dalam pelaksanaan syariat Islam. Setiap muslim
menghormati sikap dan perbuatan takwa. Akan tetapi ada orang lain yang
menemukan dasar moralitas dalam sesuatu yang lain. Ada yang menemukan dasar
moralitas dalam prinsip cinta kepada Tuhan dan sesama atau dalam prinsip
harmoni dengan kosmos. Etika yang bersifat deskriptif memberikan gambaran
mengenai norma dan konsep baik-buruk perbuatan, maupun asal-usul dan
relevansinya bagi kehidupan manusia. Sebagai filsafat moral, etika juga menarik
perhatian banyak filosof, semenjak jaman Yunani kuno sampai sekarang. Mereka
melihat pentingnya etika bagi kelangsungan kehidupan umat manusia melalui
manfaatnya bagi pengembangan kepribadian dan potensi seseorang individu maupun
keadilan didalam hubungan diantara sesama manusia. Tulisan dari filosof Yunani
Kuno seperti Plato dan Aristoteles memperlihatkan kepada kita bahwa etika
bukanlah semata-mata aturan hidup secara praktis, bukan pula yang didasarkan
kepada adat kebiasaan. Menurut mereka etika adalah perilaku jiwa yang baik yang
menuntun kepada kebahagiaan dan kebenaran. Keterbatasan pengetahuan mereka
mengenai jiwa manusia itu sendiri tidak menghalangi mereka untuk menjelaskan
konsepnya mengenai etika. Bagi filosof Yunani Kuno semacam Aristoteles, jiwa dilihat
sebagai suatu fakta yang menginginkan kebahagiaan, tidak sekedar kesenangan
indrawi belaka, jadi ada yang bernama kebajikan moral dan intelektual yang
menuntun jiwa kepada kebahagiaan. Seperti akan kita lihat etika Aristoteles
yang berdasarkan psikologi ini berbeda ruang lingkupnya dengan etika Plato.
Dalam etika Plato, eksistensi Ada yang berdiri sendiri (Tuhan ) adalah nyata
sebagaimana terwujudnya ide-ide yang baik dalam diri manusia serta tatanan alam
yang mengikuti ide-ide tadi. Bagi Plato Tuhan adalah puncak dari segala ide
yang hidup dan sekaligus menghidupi. Jiwa rasional dengan keberanian moral yang
berusaha mencapai dunia ide-ide bersaing dengan keinginan atau nafsu yang
membelenggunya di kehidupan duniawi. Keutamaan keadilan bagi Plato adalah untuk
menjamin keseimbangan antara kebijaksanaan, keteguhan hati dan sikap ugahari.
Dengan demikian etika yang bersifat vertikal (yaitu menyertakan hubungan
manusia dengan Tuhan) dari Plato ini menambahkan suatu dimensi lagi kepada
konsep etika Aristoteles. Pertanyaan: Apa yang baik?, telah menjadi pertanyaan
yang menghantui banyak filosof dunia. Jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw,
yaitu pada jaman Yunani Kuno, filosof Aristoteles (lahir 384 SM) menemukan
dasar moralitas dalam kepentingan jiwa manusia sebagai mahluk termulia di muka
bumi. Bagi Aristoteles pertanyaannya menjadi: Apa yang baik bagi manusia,
sebagai mahluk rasional? Aristoteles melihat sasaran-sasaran kehidupan manusia
. Dia menyatakan bahwa sasaran yang paling akhirlah yang harus merupakan
kebaikan bagi manusia,yaitu kebahagiaan. Karena memang tidak ada yang dicari lagi setelah
kebahagiaan. Menurutnya manusia memilih kebahagiaan berdasarkan kebahagiaan itu
sendiri, bukan memilih kebahagian untuk alasan lain. Memang banyak sasaran
dalam hidup ini seperti kehormatan,kekayaan, kepandaian, kesehatan dan lain
sebagainya, tetapi kita memilih mereka sebagian karena esensinya (kita merasa
cocok), dengan berbagai akibatnya, dan sebagian lain karena mereka dapat
membahagiakan. Mereka dianggap membahagiakan berhubung dapat menjadi alat untuk
mencapai kebahagiaan. Tetapi apakah kebahagiaan itu? Para
filosof tidak berhenti bertanya, mereka tidak akan puas dengan jawaban bahwa
kebahagiaan itu berjuta rasanya atau tidak terlukiskan seperti dalam kasus seseorang
mendapatkan cinta. Aristoteles sejak semula mengatakan bahwa ini adalah sasaran
akhir dari kegiatan rasional manusia. Kebahagiaan terkait dengan kegiatan
manusia. Tetapi tidak setiap kegiatan manusia dapat memberikan kebahagiaan,
kegiatan manusia sebagai binatang umumnya,seperti memamah biak, tidak
memberikan kebahagiaan. Menurut Aristoteles apa yang baik atau kebahagiaan
adalah kegiatan jiwa manusia sesuai nilai kebaikan. Apabila terdapat banyak
nilai ,tidak hanya satu, maka kebahagiaan adalah kegiatan jiwa sesuai nilai
kebaikan yang paling sempurna. Kebahagiaan yang dihasilkan dari kegiatan jiwa
ini berbeda dengan kesenangan atau kenikmatan yang timbul dari proses menikmati
objek-objek luar. Kebahagiaan seorang joki memenangi perlombaan balap kuda tidaklah
sama dengan kesenangannya memiliki seekor kuda. Kegiatan yang baik tidaklah
semata mata menyenangkan kepada orang orang tertentu tetapi juga menyenangkan
di dalam dirinya sendiri. Kegiatan ini tidak memerlukan kesenangan yang
ditempelkan kepadanya sebagai aksesori tetapi memiliki kesenangan sendiri di
dalam dirinya. Seseorang yang tidak merasa senang dengan perbuatan baik
bukanlah orang yang baik, karena memang tidak ada yang mengatakan seseorang
baik kecuali orang ini merasa senang berbuat baik. ? Jika kegiatan yang baik
haruslah menyenangkan, maka kebahagiaan adalah puncak dari kebaikan dan
kesenangan. Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan ini memerlukan apa yang
dinamakan kebaikan luar karena memang hampir tidak mungkin untuk berbuat baik
tanpa adanya sumber daya. Beberapa kegiatan hanya dapat dilakukan dengan
pertolongan luar seperti, kekayaan, teman ataupun kekuatan politik. Lagipula
ada kegiatan yang dilakukan dengan beberapa keberuntungan seperti rupa yang
baik, keturunan yang baik dan lain sebagainya. Dengan demikian kebahagiaan
nampaknya memerlukan sumber sumber daya seperti ini, yang dikatakan oleh
sebagian orang sebagai hasil dari nasib baik, meskipun juga dikatakan sebagai
kebaikan oleh sebagian lainnya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
kebahagiaan dapat dicapai? Apakah kebahagian sesuatu yang dipelajari, dicapai
dengan kebiasaan ataukah dengan cara lain? Apakah kebahagian dicapai melalui
dispensasi ilahiah ataukah melalui untung-untungan? Aristoteles tidak membahas
etika dari segi filosofi pertama yaitu kombinasi dari teologi dan metafisika,
tetapi dia percaya kebahagiaan adalah sesuatu yang dimiliki banyak orang,
berhubung kebahagiaan ini dapat dimiliki oleh setiap orang yang tidak dihalangi
oleh ketidakmampuan untuk menjadi bahagia. Dan menganggap bahwa lebih baik
untuk mendapatkan kebahagiaan dengan usaha daripada sekedar menunggu nasib
adalah anggapan yang dapat dibenarkan oleh kenyataan kemerdekaan berusaha yang
dimiliki manusia. Bukankah kita dapat melaksanakan kemungkinan tindakan yang
terbaik? Sesuatu yang terbaik yang dapat tercapai tidak
semestinya diserahkan kepada nasib baik. Ketidak inginannya membahas masalah
baik- buruk berdasarkan teologi dan metafisika telah membawa Aristoteles kepada
sumber pembahasan lain yaitu psikologi atau ilmu mengenai karakter jiwa
manusia. Menurutnya kita harus memanfaatkan hasil dari ilmu psikologi yang
menyatakan bahwa jiwa manusia terdiri dari dua bagian yaitu bagian rasional dan
bagian irasional. Bagian rasional adalah bagian yang berfungsi intelektual
seperti merenung , berfikir, menganalisa dan lain sebagainya. Bagian lainnya
yaitu bagian irasional dikatakannya terdiri dari sub-bagian yang berfungsi
seperti tanaman yaitu makan dan sub-bagian yang semi rasional. Sub-bagian
semi-irasional ini adalah jiwa yang memerlukan bujukan, peringatan, pembuktian
untuk dapat berpartisipasi dalam rasio. Sub-bagian ini nampaknya merupakan
bagian yang kadang-kadang membangkang atau menurut pada pertimbangan rasio.
Kebajikan atau perbuatan baik juga dibagi sesuai dengan struktur jiwa. Beberapa
kebajikan bersifat intelektual dan lainnya bersifat moral. Kebijaksanaan,
pengertian dan ketelitian serta ketepatan bersifat intelektual, sedangkan
keberanian, keramahan dan kesabaran bersifat moral. Jika kebajikan intelek
dapat berkembang dengan instruksi maka kebaikan moral dapat berkembang melalui
kebiasaan. Instruksi dan ilmu yang buruk akan membawa kepada kejahatan intelek
dan kebiasaan yang jelek juga akan membawa kepada kejahatan moral. Fakta ini
menunjukkan bahwa tidak ada kebajikan moral dalam diri kita dikembangkan oleh
alam, karena tidak ada apa yang dibuat oleh alam (bersifat alamiah) berkelakuan
beda dengan yang melalui kebiasaan. Kebajikan moral menjadi kuat dalam diri
kita tidak oleh alam dan tidak pula bertentangan dengan alam. Kita dibentuk
oleh alam untuk menerima kebajikan itu, tetapi pengembangan penuh kebajikan itu
adalah akibat kebiasaan kita. Menurut Aristoteles kebajikan bukanlah termasuk
dalam kepemilikan rasa umumnya. Seseorang tidak akan dipuji karena semata-mata
memilik perasaan senang tetapi dia dipuji karena merasa senang sewaktu menolong
orang lain. Jadi kebaikan termasuk kedalam golongan disposisi. Kesempurnaan
manusia adalah suatu disposisi yang membuat seseorang menjadi manusia yang baik
dan menyebabkan seseorang tadi mampu melaksanakan fungsinya dengan baik. Tetapi
apakah ukuran kebajikan itu? Aristoteles memberikan analogi sebagai berikut.
Dia menyatakan bahwa seseorang haruslah mendapatkan hadiah sesuai
kepantasannya, dan kepantasan itu ditentukan berdasarkan prinsip pertengahan.
Bagi seorang Milo , yaitu pegulat terkenal dari
Croton Italia, dua pounds gajih mungkin terlalu kecil , tetapi bagi seorang
pegulat biasa ini mungkin sudah cukup. Disini kita menghindari pemberian yang
kurang atau pemberian yang lebih relatif terhadap seseorang yang akan diberi.
Kesimpulannya kita mencari titik tengah dan kemudian memilihnya sebagai yang
baik. Demikian pula dalam kebajikan moral. Adalah mungkin kita merasakan takut,
yakin, marah, senang, susah terlalu banyak atau terlalu sedikit. Sikap ini
adalah salah. Kita harus memiliki titik tengah dari rasa rasa ini relatif
terhadap kita sendiri. Dalam perbuatan menyangkut orang lain, kita perlu
memiliki keadilan. Kita berlaku baik jika memiliki rasa-rasa tadi pada titik
tengah pada saat yang tepat dengan alasan yang tepat dan kepada orang yang
tepat. Itulah sikap yang terbaik dan menunjukkan kebajikan moral. Pandangan dan
analisa Aristoteles mengenai jiwa berdasarkan psikologi dan prinsip tengah tadi
menggambarkan kebaikan manusia umumnya. Dengan membagi jiwa kedalam jiwa
intelektual, jiwa nutritif dan jiwa semi rasional, sebetulnya ;
Aristoteles
membaginya berdasarkan modus interaksinya. Manusia dilihat sebagai mahluk yang
berinteraksi dengan sesama manusia di lingkungannya, memiliki jasmani dan juga
berinteraksi dengan lingkungan lainnya yaitu alam intelek. (Bagi yang beragama
alam intelek ini termasuk kedalam alam gaib atau alam keTuhanan). Sudah tentu
kita memandang tepat apa yang disimpulkannya mengenai kebajikan moral terhadap
tubuh. Makanan yang masuk kedalam tubuh memang harus dalam kadar pertengahan,
tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, yang kedua-duanya bisa
mengakibatkan penurunan kesehatan. Kondisi jasmani seseorang juga dapat
dipelajari dan diketahui oleh pemiliknya, sehingga dia bisa mengetahui bagian
mana yang tidak beres dan melakukan tindak kebaikan. Tetapi bagaimana denga
jiwa semi rasional? Apakah jiwa rasional ini adalah jiwa manusia umumnya ?
Bagaimana kita mengembangkannya yaitu meminimalisir yang memang jahat dan bukan
sekedar terpaku dengan titik tengah? Bagaimana kita menjadi jiwa yang tenang?
Konsep etika Aristoteles tidak menyinggung sejauh itu. Seperti akan kita lihat
di bawah Aristoteles berpendapat untuk menjadi baik yang sejati seseorang yang
memiliki kebajikan moral haruslah juga melaksanakan phronesis ( prudensi dalam
bahasa Inggris), yaitu semacam kebijaksanaan praktis atau amal sholeh. Mengenai
jiwa semi rasional, Aristoteles lebih jauh berpendapat bahwa diantara kebajikan
manusia ada yang bernama kebebasan, kesabaran, kesederhanaan dan kejujuran.
Keempatnya masing-masing merupakan disposisi jiwa dalam hal transaksi usaha,
amarah, aktifitas diri dan ekspresi diri. Baginya kebebasan adalah titik tengah
dari keborosan dan kemalasan. Kesabaran adalah titik tengah dari kebuasan dan
kekurangan semangat. Kesederhanaan adalah titik tengah dari rasa tidak punya
malu dan malu-malu dan berlaku hanya bagi anak muda yang belum stabil jiwanya.
Bagi Aristoteles kejujuran diri adalah titik tengah antara omong besar dan
rendah diri, bukan keberanian berbicara benar. Mengapa kesederhanaan hanya
berlaku bagi anak muda dan tidak berlaku bagi orang dewasa? Aristoteles
menjelaskan bahwa kesederhanaan cocok untuk meredam gejolak di dalam diri anak
muda yang dapat menimbulkan perbuatan yang tidak terpuji. Bagi orang dewasa ini
termasuk kedalam perasaan semata. Tetapi mengapa kesederhanaan ini dipandang
seperti itu? Mengapa kejujuran diri bukan berarti kemampuan bicara benar?.
Bukankah kesederhanaan dan kejujuran manusia disertai ilmu yang benar juga
diperlukan supaya dapat menjadi manusia yang adil? Ini adalah pertanyaan yang
masih disisakan oleh Aristoteles. Berbeda dengan gurunya yaitu Plato ( 427-347
SM) yang mempercayai eksistensi alam gaib serta hubungannya dengan alam nyata,
Aristoteles adalah filosof yang lebih suka melihat kenyataan berdasarkan
pengalaman praktis manusia. Disatu fihak tendensi ini menghasilkan sesuatu
pengetahuan yang bersifat praktis tetapi dilain fihak menyisakan teka- teki
mengenai siapa sebenarnya mahluk yang bernama manusia itu. Kalau memang ada, seperti apa manusia
sempurna yang dapat berlaku adil ? Bagi Aristoteles ada kebajikan intelek
selain kebajikan karakter. Kebajikan intelek ini bersifat rasional dan dapat
dibagi dua yaitu intelek kontemplatif dan intelek kalkulatif. Dengan intelek
kontemplasi seseorang dapat merenungi sesuatu yang memiliki prinsip-prinsip
pertama yang tidak variabel ( alam metafisik). Intelek
kalkulatif digunakan untuk merenungi sesuatu yang variabel (alam nyata).
Pencarian dan penghindaran pada jiwa semi rasional yang bersifat apetitif (
atau jiwa yang tanggap terhadap petuah, himbauan, dan lain yang serupa)
berhubungan dengan penegasan (pembenaran) dan penolakan (menyalahkan) pada jiwa
rasional. Tetapi kebajikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar